Sabtu, 28 September 2013

Masail fiqhiyah

MAKALAH
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Fiqh
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah masail fiqhiyah
Dosen Pengampu : Ilya Muhsin, S. HI, M.Si






















Oleh

Sri Sulastri (111 11 012 )
Iin Masidhoh ( 111 11 013)
Siti Kholifah ( 111 11 032)






JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA
TAHUN 2013
 BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kita tak pernah tahu sampai kapan fenomena nikah beda agama (NBA) akan terus berlangsung dan menjadi kontroversi. Mereka yang menentang pernikahan beda agama mengatakan bahwa meski pasangan NBA telah memenuhi rukun nikah dan melaksanakan akad nikah dengan mengucapkan ijab kabul, hubungan suami istri yang mereka lakukan tetap tidak sah dan perbuatan zina. Benarkah demikian?
Secara umum, para pasangan beda agama ini memiliki beberapa problem. Pertama, umumnya mereka tidak tahu persis apakah pernikahan beda agama ini dibolehkan oleh agama atau sebaliknya. Kedua, para calon pasangan NBA umumnya juga tidak tahu ke mana mereka harus mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi, karena langkanya agamawan (ulama/kyai, pendeta, pastur,dsb) yang memiliki pandangan membolehkan NBA. Ketiga, para pasangan beda agama ini juga tidak tahu bagaimana mereka bisa melangsungkan pernikahan, di masjid mana mereka bisa melangsungkan akad nikah, di gereja mana mereka bisa menerima pemberkatan, dan seterusnya. Keempat,para pasangan beda agama biasanya juga buta mengenai teknis pelaksanaan NBA. Mereka tidak tahu apakah  ketika akad nikah harus membaca syahadatain , apakah yang non Islam harus masuk Islam dulu. Kelima, para pasangan NBA juga tidak tahu kemana mereka nantinya dapat mencatatkan pernikahan mereka agar memperoleh buku nikah. Apakah ke KUA? Ataukah DKCS (dinas kependudukan dan catatan sipil)?, jika ke KUA, KUA mana?
Berangkat dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, maka makalah ini mencoba memberikan pendapat  tentang  “Perkawinan Beda Agama; Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Fiqh”, semoga bermanfaat bagi kita semua.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana agama-agama bicara tentang nikah beda agama?
2. Bagaimana pandangan nikah beda agama menurut hukum positif?
3. Bagaimana pandangan nikah beda agama menurut hukum fiqh?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan Beda Agama
Pernikahan atau perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki- laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih saying, kebajikan dan saling menyantuni.(Sudarsono, 2005: 36-37). Di dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci sebagai negara yang di dasarkan pada pancasila, dimana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian. Sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani. (Sudarsono, 2005: 9). Jadi yang dimaksud dengan pernikahan beda agama disini ialah perkawinan antar agama yang berlainan agama atau perkawinan orang Islam dengan orang bukan Islam (Zuhdi, 1994: 4).

B. Rukun Nikah Beda Agama
1. Mempelai laki-laki dan mempelelai perempuan
2. Wali Nikah
Dalam prosesi nikah beda agama tetap berlaku prinsip-prinsip dasar wali nikah sebagaimana diatur dalam fikih Islam. Bila calon mempelai laki seorang muslim dan perempuannya non muslim, tata tertib perwalian Islam tetap berlaku. Orang tua pihak perempuan merupakan prioritas utama untuk menikahkan anaknya. Bila berhalangan berlaku  urutan sebagaimana diatur dalam fikih, kecuali semua itu berhalangan dan kemudian diwakilkan kepada wali hakim. Adapun bila perempuannya muslimah, dengan sendirinya wali nikah orang tua sang muslimah. Ayah yang muslim ini secara otomatis menikahkan anak perempuannya kepada calon mantunya yang nonmuslim. Namun, mempelai laki-laki tidak boleh dipaksa membaca syahadatain kecuali atas kesepakatan dan kemauannya sendiri.



3. Maskawin
Pemberian mahar pada dasarnya bersifat budaya, relatif dan tidak sama dalam tradisi dan adat istiadat masing-masing suku dan masyaraakt. Ada mahar bentuk uang, alat ibadah, perhiasan emas dan perhiasan lainnya. Yang terpenting mahar merupakan kesepakatan  kedua belah pihak.
4. Kalimat ijab kabul
Ijab kabul nikah pasangan beda agama dalam prosesi akad nikah Islam sama kalimatnya dengan ijab kabul prosesi akad nikah Islam umumnya.
5. Saksi dalam Nikah Beda Agama
Nikah beda agama juga memerlukan saksi dalam prosesi akadnya. Jumlahnya yang resmi dua orang. Jika mengacu dalam fikih Islam keduanya harus laki-laki. Agamanya tidak harus Islam, bisa salah satunya nonmuslim atau kedua-duanya nonmuslim. Islam tak memandang perbedaan seorang untuk menjadi saksi. Yang terpenting satu saksi setidaknya berasal dari pihak keluarga perempuan dan satunya lagi dari pihak laki-laki. Tapi jika tidak bisa direalisasikan siapa saja bias menjadi saksi salal keduanya mengenal salah satu mempelai atau kedua mempelai. (Monib dan Nurcholish, 2008:158-166)

C. Bagaimana agama-agama bicara tentang nikah beda agama?
1. Pandangan Agama Islam
Pernikahan antar agama berpegang pada firman Allah, Qs. al-Baqarah: 221, Qs. Al-Mumtahanah, dan Qs. al-Maidah: 5). Dari ayat tersebut muncul kontroversi (khilafiyah) tentang halal dan haramnya pernikahan antar agama, persisnya antara muslim dengan non muslim. Mereka yang melarang pernikahan beda agama biasanya menyamakan istilah musyrik, kafir, dan ahl al-kitab. Padahal ketiganya memiliki makna dan pengertian yang berbeda. (Monib dan Nurcholish,2008:99)
Batasan Musyrik, Ulama Hanafiah menafsirkan musyrik adalah mereka yang menyembah bersama Allah sesuatu benda lain, serta tidak mengakui adanya Nabi dan tidak mempunyai kitab. Ulama lain menafsirkan syirik bila menyembah Tuhan selain Allah, baik berupa berhala, hewan, dan sebagainya. Batasan kedua dikatakan musyrik bila dia tidak menyembah Allah, dan menyembah benda-benda lain. (Shiddieqy, 1987:86)
Batasan Kafir, Golongan Syafi’iyad dan Hanafiyah menafsirkan kafir bilamana mereka mengingkari adanya Tuhan, mengingkari kerasulan Muhammad, dan mengingkari al-Qur’an. Maka menurut pandangan seluruh ulama, para penyembah berhala dan ahli kitab dipandang kafir. (Shiddieqy, 1987:86-87).
Ulama yang membolehkan NBA, antara lain:
a. Ali al-Shabuni dalam tafsirnya Rawa’i al-Bayan mengutip pendapat al-Alusi, seorang ahli tafsir, yang menulis demikian:
Hammad pernah bertanya kepada Ibrahim tentang pernikahan muslim dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Ibrahim menjawab, “La ba’sa (tidak apa-apa). Lalu,”Bukankah Allah menegaskan, ‘ Wa la tankihu al-musyikat’? (jangan menikahi orang-orang musyrik)” debat Hammad. “Itu kan perempuan-perempuan majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala),” jawab Ibrahim (Monib dan Nurcholish, 2008: 100).
b. Rasyid Ridha, ulama modern murid dari Muhammad Abduh ini menegaskan bahwa Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lain dapat dikategorikan sebagai ahl al-Kitab. Ridha memfatwakan bahwa laki-laki muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah: 221 adalah perempuan musyrik arab masa lalu. (Monib dan Nurcholish, 2008:102). Karena bangsa Arab waktu turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci, mereka menyembah berhala. Itulah pendapat Jazir al-Thabari. (Zuhdi,1994:4). Sedangkan orang-orang majusi, penyembah berhala di India, Cina, dan semacam mereka seperti Jepang adalah l al-Kitab, yang (kitab mereka) mengandung faham monoteisme (tauhid) sampai sekarang. Karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka.
2. Pandangan Agama Kristen
Meski pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya menikah dengan orang yang seagama, pada level tetentu, agama protestan tidak menghalangi kalau terjadi pernikahan beda agama antara penganut Protestan dan penganut agama lain. Hal yang berkaitan dengan pernikahan beda agama dalam komunitas agama protestan:
a. Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil dimana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing
b. Kepada mereka diadakan penggembalaan (pendampingan khusus)
c. Ada yang memberkati, dengan syarat bukan Protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia untuk mengikuti pemberkatan agama secara Protestan (meski bukan berarti pindah agama). Ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau istri yang beriman
d. Ada pula gereja yang bukan hanya tidak mau memberkati, tetapi juga mengeluarkan anggota jemaatnya yang menikah dengan orang penganut agama lain dari gerejanya. (Monib dan Nurcholish, 2008:108-109)
3. Pandangan Agama Katolik
Gereja katolik memandang bahwa pernikahan antara seorang penganut Katolik dan seorang nonkatolik bukanlah bentuk pernikahan yang ideal, sebab pernikahan dianggap sebagai sebuah sakramen  (sesuatu yang suci). Agama katolik pada prinsipnya melarang pernikahan antara penganut Katolik dengan yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tetentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian. Dispensasi atau pengecualian  dari Uskup ini, menurut Johanes Hariyanto, baru diberikan apabila ada harapan dapat terbinanya suatu keluarga yag baik dan utuh setelah pernikahan. Yang paling penting dalam soal pernikahan dalam katolik adalah bahwa setiap pernikahan, termasuk pernikahan antara penganut katolik dan nonkatolik, hanya dianggap sah apabila dilakukan dihadapan uskup, pastor, atau imam (Monib dan Nurcholish, 2008: 111-112).
4. Pandangan Agama Hindu
Pengesahan suatu pernikahan menurut agama Hindu harus dilakukan oleh Pedande yang memenuhi syarat untuk itu. Kalau ada perkawinan beda agama, Pedande tidak akan mengesahkan perkawinan tersebut. Dalam Hindu tidak dikenal adanya nikah beda agama. Apabila salah seorang  calon mempelai  tidak beragama Hindu, ia wajib disucikan sebagai penganut agama Hindu. Kalau tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini dianggap melanggar ketentuan dalam Seloka v-89 kitab Manawadharmasastra .
Seiring dengan perkembangan zaman, Agama Hindu mulai mengalami dinamika baru dengan kehadiran Swami Vivekanada. Dengan demikian, perkawinan beda agama bukan suatu masalah setidaknya dalam pandangan kontekstual tentang Hindu. Kalau memang pasangan nikah beda agama itu sudah saling memahami dan meyakini bahwa perkawinan ini sudah merupakan dharma (way of life) yang harus mereka jalani didunia ini, pernikahan mereka akan diberi jalan sesuai dengan istadevata dan adikara mereka  (118-119)
5. Pandangan Agama Buddha
Menurut Sangha Agung Indonesia, perkawinan beda agama yang melibatkan penganut agama Budha dan penganut agama nonbudha diperbolehkan, asalkan pengesahannya dilakukan menutut tata cara agama Budha, meski calon mempelainya yang bukan Buddha tidak diharuskan masuk Buddha terlebih dahulu. Tapi, dalam upacara   ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan atas nama Sang Buddha, Dharma, dan Sangka.
Dalam pandangan Biksu Prajnavira Mahasthavira, yang paling diytamakan adalah  agar perkawinan tidak terlepas dari ajaran moral. Pemberkatan perlu dilakukan untuk kedua mempelai. Karena pemberkatan perlu dilakukan, agama kedua mempelai sebaiknya sama. Biksu Prajnavira melihat pernikahan beda agama sebgi sesuatu yang fleksibel, asal tidak melanggar dharma, dan tidak menyimpang dari norma dan moral.(119-120)

D. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Positif
Hukum positif adalah  kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis  dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan Negara Indonesia. (Hukum Positif Indonesia, Manan, 2004:1)
1. UU Perkawinan No.1/1974
Perkawinan di indonesia diatur melalui UU.No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dan untuk implementasinya dilengkapi Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya.
2. Posisi dan Sikap KUA dan DKCS
Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki dua lembaga pencatat perkawinan yaitu, KUA (bagi pasangan yang sama-sama Islam) dan DKCS (untuk pasangan perkawinan non muslim). Hal ini diatur melalui PP No.9 Tahun 1975. Dampaknya kemudian, pernikahan yang mempertemukan dua agama yang satu sama yang lain berbeda lembaga pencatatannya, seperti Islam dan kristen, tentu secara otomatis akan ditampik, karena mengganggu “dualisme” pencatatan. Persoalan di atas berakar dari penafsiran tentang UU Perkawinan 1974. Pihak DKCS menolak pernikahan beda agama, dengan argumen pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Ditambah dengan dalil dari PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. KHI yang dijadikan patokan oleh KUA yang secara tegas menyebut beda agama sebagai penghalang perkawinan.
Meskipun KUA dengan tegas menolak pencatatan perkawinan pasangan beda agama, tidak demikian dengan DKCS. Meski secara umum menolak, ada sejumlah DKCS yang berkenan mencatat pasangan nikah beda agama. DKCS yang mencatat dan menerima perkawinan beda agama melandasi argumennya dengan pasal 2 dan pasal 66 UU Perkawinan.
Seperti yang dialami oleh pasangan Adi abidin dan Lia Marpaung (tahun 2005), DKCS Salatiga, Jawa Tengah menerima pencatatan pernikahan mereka yang beda agama atas dasar pasal 2 UU Perkawinan, baik ayat 1 maupun ayat 2.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221 tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan berlakunya UUP serta Peraturan Pelaksanaannya. Keputusan Mendagri tersebut diantaranya menyatakan:
Sebelum dikeluarkan UU tentang Catatan Sipil yang bersifat Nasional, maka pencatatan perkawinan dan perceraian dilakukan di KCS menurut ketentuan UU No.9 tahun 1975 bagi mereka yang pencatatan perkawinan dilakukan berdasarkan, di antaranya Ordonansi Catatan Sipil untuk perkawinan campuran.
Dengan demikian, kalau pasal 66 dan keputusan Mendagri ini ingin dilaksanakan, NBA dapat dilaksanakan dengan cara:
a. Menggunakan GHR apabila perkawinan antara pria Kristen dengan wanita nonkristen. Pasal 6 GHR menetapkan bahwa perkawinan antara agama, maka hukum dari suami diterapkan.
b. Menggunakan HOCI apabila perkawinan antara pria nonkristen dengan wanita kristen. Dalam pasal 75 HOCI ditetapkan bahwa perkawinan antara seorang pria tidak beragama kristen dengan seorang wanita beragama kristen, atas permintaan mereka, dapat dikukuhkan berdasarkan ordonansi.
3. INPRES No.1/1999 tentang Kompilasi Hukum Islam
KHI disusun berdasarkan keputusan bersama Ketua MA dan Menteri Agama pada tanggal 21 maret 1985 dan selanjutnnya melahirkan proyek Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi.
Berkaitan dengan nikah beda agama terdapat dua pasal KHI. Pertama, pasal 40 yang menyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan kedua, pasal 44 yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
4. Fatwa MUI 1980/2005
Nikah beda agama  dinyatakan haram untuk dilakukan umat Islam, tak terkecuali untuk laki-laki Islam dengan perempuan non muslim, apa pun agamanya.
5. CLD KHI: Gagasan Progresif tentang NBA
Sebagai alternatif terhadap pasal-pasal KHI lama yang bermasalah, diusulkan revisi dalam CLD-KHI yang dibuat oleh Tim Pengarusutamaan Gender, adalah:
a. Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan
b. Perkawinan orang Islam dengan non Islam dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak kebebasan menjalankan ajaran agama  dan keyakinan masing-masing
c. Sebelum perkawinan dilangsungkan, Pemerintah berkewajiban memberi penjelasan kepada kedua calon suamim istri mengenai perkawinan orang Islam dengan buklan Islam, sehingga masing-masing menyadari segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perkawinan tersebut
d. Dalam perkawinan orang Islam dan bukan Islam, anak berhak untuk memilih dan memeluk suatu agam asecara bebas
e. Dalam hal anak belum bisa menentukan pilihan agamanya, agama anak untuk semantara ditentukan oleh kesepakatan kedua orang tuanya
E. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Fiqh
1. Pernikahan seorang non Muslim menikahi perempuan Muslim
Pernikahan antara seorang laki-laki non muslim dengan perem[uan muslimah hukumnya haram. Apapun alasannya ia tidak diperbolehkan, sebagaimana firman Allah :
             
Artinya : “ dan janganlah kalian nikahkan laki- laki musyrik sebelum mereka beriman ” ( Al- Baqarah : 221)
Tujuan larangan ini adalah agar tidak terjadi penguasaan hak suami yang nonmuslim atas istrinya yang muslim dan ini juga untuk menjaga martabat wanita muslim dan ini juga untuk menjaga martabat perempuan muyslim. Hl yang paling dikhawatirkan adalah sikap wanita yang lemah, sehingga terpengaruh oleh perilaku lelaki yang menjadi suaminya.
2. Pernikahan seorang muslim menikahi perempuan Ahlul Khitab
Laki- laki muslim boleh menikah dengan wanita Yahudi atau Nasrani, sedang wanita muslim tidak diperbolehkan, tidak lain karena laki- laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam menjamin aqidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak- hak  dan kehormatanya dengan syariat dan bimbingan- bimbingannya.


Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seoang pria mslim boleh menikahi wanita ahlulkitab ( Yahudi dan Nasrani), berdasarkan firman Allah dalam Surat Al- Maidah ayat 5 :
          
Artinya: “Dan dihalalkan mengawini wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara orang- orang yang diberi kita suci sebelum kamu.”
Selain berdasarkan Al- Qur’an surat al- Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunnah Nabi, di mana Nabi pernah menikahi wanita ahlul kitab, Mariah al- Qibtiyah (k risten) . Demikian pula seorang sahabat Nabi, Hudzaifah bin Yaman pernah kawin dengan wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Adapun pendapat para fuqara empat madzhab mengenai laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Hanafi, Para ulama madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin menikahi perempuan ahli kitab yang mendomisili di wilayah yang sedang berperang dengan Islam. Karena mereka tidak tunduk terhadap hukum Islam sehingga bisa membuka pintu fitnah
b. Madzhab Maliki, tidak makruh secara mutlak sebab dzahir Qs.al-maidah:5 membolehkan secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena dikaitkan dengan pemerintahan Islam, sebab para Ahli Kitab tetap saja boleh minum khamr, makan babi,dll. Padahal suaminya tidak melakukan itu.  
c. Madzhab Syafi’I, memandang makruh mengawini perempuan ahli kitab yang mendomisili di negara islam.  Ulama syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa: Masih ada perempuan muslimah yang sholihah, apabila tidak mengawini perempuan ahli kitab tersebut ia bisa terperosok ke dalam perbuatan zina.
d. Madzhab Hambali, laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali tidak dimakruhkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan Qs. Al-Maidah 5. Disyaratkan perempuan ahli kitab tersebut perempuan merdeka.

3. Perkawinan antara seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita muyrik, bedasarkan firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 221.
Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa wanityta musyrik yang haram dinikahi? menurut Ibnu Jarir AL- Thabary, seorang ahli tafsir,  bahwa wanita musyiok yang dinikahi itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al- Quran memang tidak mengenak kitab suci dam mereka menyambah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang muslim boleh menikah dengan wanita musyrik non Arab.
 BAB III
ANALISIS

Dari beberapa pandangan tentang pernikahan beda agama seseorang laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim. Hal ini dikuatkan oleh Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang menjelaskan bahwa  dihalalkan menikahi wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara orang- orang yang diberi kita suci sebelumnya.
. Alasan lainnya, laki- laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam menjamin aqidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak- hak  dan kehormatanya dengan syariat dan bimbingan- bimbingannya. Sedangkan perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki non muslim dikarenakan mustahil jika seorang muslimah tetap memiliki kehormatan aqidah dan perlindungan agamanya jika laki- laki yang menguasainya adalah seorang yang menentang agamanya dengan segala bentuk penentangan. Hal ini dikuatkan dalam QS. Al-Baqarah:221 yang menjelaskan bahwa perempuan muslim janganlah menikah dengan laki- laki musyrik sebelum mereka beriman.

















BAB IV

KESIMPULAN

A. Pengertian pernikahan beda agama
Pernikahan beda agama disini ialah perkawinan antar agama yang berlainan agama atau perkawinan orang Islam dengan orang bukan Islam.
B. Pandangan pernikahan beda agama menurut hukum positif
1. UU Perkawinan No.1/1974
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecaaanya itu.
2. INPRES No.1/1999 tentang Kompilasi Hukum Islam
Berkaitan dengan nikah beda agama terdapat dua pasal KHI. Pertama, pasal 40 yang menyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan kedua, pasal 44 yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
C. Pandangan pernikahan beda agama menurut hukum fiqih
1. Pernikahan seorang non Muslim menikahi perempuan Muslim
Pernikahan antara seorang laki-laki non muslim dengan perempuan muslimah hukumnya haram. Apapun alasannya ia tidak diperbolehkan, sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah:221
2. Pernikahan seorang muslim menikahi perempuan Ahlul Khitab
Laki- laki muslim boleh menikah dengan wanita Yahudi atau Nasrani, sedang wanita muslim tidak diperbolehkan. Berdasarkan pada QS. Al-Maidah ayat 5
3. Perkawinan antara seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita muyrik, bedasarkan firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 221.


  DAFTAR PUSTAKA


Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Hukum Antar Golongan. Semarang: Pustaka Rizki Putra

Djubaidah, Neng.2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat. Jakarta: Sinar Grafika

Manan, Bagir. 2004. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press

Monib, Mohammad dan Nurcholish, Ahmad. 2008. Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Suhadi,2006.  Kawin Lintas Agama. Yogyakarta: LKis

Zuhdi, Masjfuk. 1994. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Toko Gunung Agung









MAKALAH
METODE PENDIDIKAN ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hadits Tarbawi”
Dosan Pengampu: Wahidin, M.Ag







Disusun oleh:

Sri Sulastri       111-11-012
I’in Masidhoh  111-11-013
Siti Asiah          111-11-014
Nurjanah          111-11-017



JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
TAHUN AJARAN 2013 / 2014


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT sumber segala kekayaan di dunia ini, yang telah memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada manusia sebagai amanah di muka bumi. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah menyampaikan wahyu kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan inayah Allah SWT akhirnya Makalah ini dapat terselesaikan meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hadits Tarbawi. Serta untuk mengetahui secara global mengenai metode pendidikan Islam.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung terselesaikannya Makalah ini. Tak ada gading yang tak retak. Demikian pula dengan Makalah ini tidak lepas dari kekurangan.karena memang kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Allah semata.
Oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun dan memperbaiki sangat kami harapkan demi perbaikan kualitas makalah ini. Semoga sumbangsih Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca budiman. Amien.


Salatiga, 13 september 2013


Penyusun  






PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam hal pengajaran, metode mengajar itu sangat penting untuk dimiliki oleh seorang pendidik, karena dengan metode yang efektif dan tepat maka pelajaran yang akan disampaikan itu akan berjalan dengan lancar. Selain itu kelancaran materi ajar tergantung bagaimana seorang pendidik menerapkan materinya kepada anak didik serta bagaimana model atau cara memahamkan materi tersebut. Kebanyakan saat pelajaran akan dimulai banyak anak yang tidak serius, gaduh, ada yang bermain-main dan lain sebagainya.
Metode pengajaran dalam pendidikan agama Islam perlu mencakup pembinaan psikomotor, kognitif, afektif, dan keterampilan.
Berlatar belakang masalah tersebut, maka makalah ini akan memberikan gambaran bagaimana dan apa yang sebaiknya metode pengajaran pendidikan agama Islam dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja metode yang cocok digunakan untuk menyampaikan materi pendidikan agama Islam?
C. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah agar kita mengetahui apa saja metode yang cocok digunakan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam.











DAFTAR ISI
Sampul i
Kata Pengantar ii
Pendahuluan iii
Daftar Isi iv
BAB 11 PEMBAHASAN
Pengertian metode pendidikan Islam 1
Metode peikem gembrot 5
Metode demonstrasi 7
Metode tanya jawab 9
Metode diskusi 10
Motode kisah 11
Metode ceramah 12
KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15
















Bab II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Metode Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata metode berasal dari dua perkataan yaitu “meta” dan “hodos”. Meta berarti melalui, dan hodos berarti  jalan atau cara, yakni jalan yang harus dilalui. Jadi secara terminologi metode adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu.(Arifin, 1994:61) Menurut para, Abdul Ghafur menggunakan istilah strategi dengan instruksional. (Asmani,2011:19)
Sementara itu, pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai Khalifah Allah swt, baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran Al Qur'an dan Al Hadits. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam .
B. Hadits tentang metode pendidikan Islam
1. Metode PAIKEM GEMBROT (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan Gembira dan Berbobot)
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ قَالَ بَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا (رواه مسلم)
Artinya, Dari Abu Burdah, dari Abu Musa berkata Rasulullah SAW bersabda ketika beliau mengutus seseorang  dari Abu Burdah  dari Ubai  dari sahabat-sahabatnya dalam sebagian perintahnya beliau berkata: berbahagialah dan jangan bersedih permudah dan jangan persulit.
 Aktif dimaksudkan bahwa proses pembelajaran, guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa, sehingga siswa aktif bertanya dan mengemukakan gagasan. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain (Asmani, 2011:60). Inovatif, ketika mendengar kata inovasi, yang muncul di benak kita barangkali sesuatu yang baru, unik dan menarik. Kebaruan, keunikan dan yang menarik itu pada akhirnya membawa kemanfaatan. Inovatif ialah suatu perubahan yang baru menuju ke arah perbaikan; yang lain atau berbeda dari yang ada sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan berencana. (http://sarkomkar.blogspot.com/2009/11/ict-dan-inovasi-pembelajaran.html). Kreatif  juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam, sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa, Efektif berarti proses pembelajaran tersebut bermakna bagi siswa. Menyenangkan maksudnya adalah membuat suasana belajar mengajar yang menyenangkan, sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar.Gembira dimaksudkan agar guru menciptakan suasana belajar yang fun sehingga siswa mampu belajar dengan enjoy pada gilirannya siswa mampu menyerap pelajaran.(http://smartalzind.blogspot.com/2012/08/apa-dan-bagaimana-proses-belajar-model.html). Berbobot, dimaksudkan agar guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa memiliki mutu yang baik sehingga tercapai tujuan pembelajaran
a. Teori belajar yang melandasi paikem gembrot
1) Teori perkembangan jean peaget
Menurut Jean Pieget, seorang anak maju melalui empat tahap perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu: tahap sensorimotor, pra operasional, operasi kongkrit dan operasi formal. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks.
Pola perilaku atau berfikir yang digunakan anak dan orang dewasa dalam menangani obyek-obyek di dunia disebut skemata. Selanjutnya menurut Piaget bahwa anak membangun sendiri skemata-skemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya.
Adaptasi lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Menurut Piaget, pembelajaran anak pada tahap ini memiliki kesempatan bertumbuh dan berkembang.
Di sini peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pemberi informasi. Guru perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para siswanya. (Moshman,dalam slavin,1994:33, dalam Ahmadi,2011:48)
Jelas teori piaget tersebut menegaskan bahwa guru harus mampu menciptakan keadaan pembelajar yang mampu belajar mandiri. Artinya guru tidak sepenuhnya mengajarkan suatu bahan ajar kepada pembelajar, tetapi guru dapat membangun pembelajar yang mampu belajar dan terlibat aktif dalam belajar.
2. Metode demonstrasi
 عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ (رواه البخاري)

Artinya:”Dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah SAW bersabda, orang yang menanggung hidup anak yatim atau yang lainnya, maka saya (Nabi) dan dia seperti dua orang yang tidak dapat dipisahkan dalam surga:. (HR. Muslim)
Metode demonstrasi adalah metode mengajar yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik.
Dalam mengajarkan praktek-praktek agama, Nabi Muhammad sebagai pendidik agung banyak mempergunakan metode ini seperti mengajarkan cara-cara wudhu, shalat, dan sebagainya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhâb katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami mendatangi Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama 20 malam. Rasulullah saw adalah seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hafal dan yang saya tidak hafal. Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat.
Hadis ini sangat jelas menunjukkan tata cara salat Rasulullah saw. kepada sahabat, sehingga para sahabat dipesankan oleh Rasulullah saw. agar salat seperti yang dicontohkan olehnya.
Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam pembelajaran ialah kemampuan individu untuk mengambil intisari informasi dari tingkah laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk dilaksanakan. Dalam pandangan paham belajar sosial, sebagaimana dikemukakan Grendler.
Metode demonstrasi dimaksudkan sebagai suatu kegiatan memperlihatkan suatu gerakan atau proses kerja sesuatu. Pekerjaannya dapat saja dilakukan oleh pendidik atau orang lain yang diminta mempraktekkan sesuatu pekerjaan. Metode demonstrasi dilakukan bertujuan agar pesan yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan benar. Sebagai contoh dipakai mata pelajaran fiqih yang membahas pelaksanaan shalat. Kompetensi Dasar (KD) dari pokok bahasan tersebut adalah: “Siswa dapat melaksanaan ibadah shalat setelah mengamati dan mempraktekkan berdasarkan model yang ditentukan”.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, dibutuhkan beberapa kemampuan yang harus dikuasai anak didik dalam indikator pencapaian, yaitu :
a. Kemampuan gerakan (melakukan posisi berdiri tegak menghadap kiblat, mengangkat tangan sejajar dengan telinga ketika takbiratul ihram,dll
b. Kemampuan membaca bacaan salat (bacaan surat al-Fatihah, bacaan ruku’,dll
3. Metode tanya jawab
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ؟ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ (رواه مسلم)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata seorang laki-laki datang pada Rasulullah SAW, kemudian ia bertanya, wahai Rasulullah siapa orang yang paling berhak aku hormati? Beliau menjawab: Ibumu, ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: Ibumu, ia berkata, kemudian siapa? Beliau menjawab: kemudian bapakmu, kemudian saudara terdekatmu. (HR. Muslim)
Metode tanya jawab adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaac yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses berfikir diantara murid-murid. (Metode Pengajaran Agama Islam, Ramayulis, 1990; 121)
a. Kewajaran metode tanya jawab
1) Menyimpulkan pelajaran yang telah lalu. Setelah guru menguraikan suatu persoalan, kemudian guru mengajukan pertanyaan
2) Menarik perhatian murid untuk menggunakan pengetahuan dan pengalaman
3) Meneliti kemampuan murid dalam memahami suatu bacaan yang dibacanya
4) Menyelingi pembicaraan untuk merangsang perhatian murid dalam belajar sehingga dengan jalan demikian ada kerjasama antara murid dengan guru
b. Keuntungan metode tanya jawab
1) Memberi kesempatan kepada murid-murid untuk dapat menerima penjelasan lebih lanjut
2) Guru dapat dengan segera mengetahui kemajuan muridnya dari bahan yang telah diberikan
3) Pertanyaan yang sulit dan baik dari murid dapat mendorong guru untuk memahami lebih mendalam dan mencari sumber-sumber lebih lanjut
c. Kelemahan metode tanya jawab
1) Memungkinkan terjadi perbedaan pendapat antara guru dan murid. Hal ini terjadi karena pengalaman murid  berbeda dengan guru
2) Apabila  murid terlalu banyak tidak cukup waktu memberi giliran  kepada setiap siswa (Metode Pengajaran Agama Islam, Ramayulis, 1990; 122-126)
4. Metode diskusi (musyawarah)
 عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ (رواه البخاري)
 Artinya :”Dari Annas ra, berkata: Rasulullah SAW, bersabda: tolonglah saudaramu yang dzalim dan yang didzalimi, dikatakan bagaimana jika menolong orang yang dzalim? Rasulullah menjawab: tahanlah( hentikanlah) dia dan kembalikanlah dari kedzalimannya, karena sesungguhnya itu merupakan pertolongan padanya:. (HR. Bukhari)
Metode diskusi dalam pendidikan adalah suatu cara penyajian atau penyampaian bahan pelajaran, dimana guru memberi kesempatan kepada para siswa atau kelompok siswa untuk mengadakan pembicaraan guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan, atau menyusun berbagai alternatif pemecahan suatu masalah.
a. Kelebihan metode diskusi
1) Membantu murid untuk mengambil keputusan yang lebih baik daripada memutuskan sendiri, karena terdapat berbagai sumbangan pikiran dari peserta lain
2) Mereka tidak terjebak dengan jalan pikirannya sendiri yang kadang-kadang salah, penuh prasangka dan sempit, karena dengan diskusi dapat mempertimbangkan alasan-alasan orang lain




b. Kelemahan metode diskusi
1) Suasana diskusi menjemukan dan tidak bersemangat jika pemimpin diskusi bertele-tele
2) Kekurang mampuan seseorang dalam mengarahkan aktivitas diskusi dapat menimbulkan ketidakpahaman bagi dari apa yang didiskusikan
5. Metode kisah/cerita
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلا خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ (رواه البخاري)
Artinya:”Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ketika seorang laki-laki sedang berjalan tiba-tiba ia merasa sangat haus sekali kemudian ia menemukan sumur lalu ia masuk kedalamnya dan minum, kemudian ia keluar(dari sumur). Tiba-tiba datang seekor anjing menjulur-julurkan lidahnya ia menjilati tanah karena sangat haus, lelaki itu berkata: anjing itu sangat haus sebagaimana aku, kemudian masuk ke sumur lagi dan ia penuhi sepatunya (dengan air), kemudian ia (haus lagi) sambil menggigit sepatunya dan ia beri minum anjing itu kemudian Allah bersyukur kepadanya dan mengampuninya, sahabat bertanya, wahai Rasulullah: adakah kita mendapat pahala karena kita menolong hewan? Nabi SAW menjawab: disetiap yang mempunyai limpa hidup ada pahalanya”. (HR. Bukhari)

Metode kisah disebut juga metode cerita yakni cara mendidik dengan mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah islam, yakin Al-qur’an dan Hadits.
Seringkali Rasulullah memberikan pelajaran kepada para sahabat beliau dengan cara berkisah tentang kehidupan dan kejadian di masa lampau. Metode demikian itu di anggap akan lebih membekas dalam jiwa orang yang mendengarkannya, serta lebih menarik perhatian (konsentrasi) mereka. Allah sendiri sesungguhnya telah mengenalkan model pengajaran semacam ini kepada Rasulullah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami ceritakan kepadamu kisah-kisah para Rasul (terdahulu) yang dengannya Kami meneguhkan hatimu” (Qs. Hud:120). (Ghuddah,2005:182)
Pentingnya metode kisah diterapkan dalam dunia pendidikan karena dengan metode ini, akan memberikan kekuatan psikologis kepada peserta didik, dalam artian bahwa dengan mengemukakan kisah-kisah nabi kepada peserta didik, mereka secara psikologis terdorong untuk menjadikan nabi-nabi tersebut sebagai suri tauladan

6. Metode ceramah
Metode ceramah ialah penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelas. Dengan kata lain dapat pula dimaksudkan bahwa metode ceramah atau lecturing itu adalah suatu cara penyajian atau penyampaian informasi melalui penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap siswanya. Peran murid disini sebagai penerima pesan, mendengarkan, mencatat keterangan-keterangan guru bila diperlukan. (Usman, 2002:34). Metode ini banyak sekali dipakai. Nabi Muhammad dalam memberikan pelajaran terhadap umatnya banyak menggunakan metode ceramah, disamping metode yang lain.
a. Kewajaran metode ceramah
Metode ceramah wajar dilaksanakan apabila :
1) Jumlah murid terlalu banyak
2) Bahan yang disampaikan merupakan topik baru yang mengandung informasi, penjelasan atau uraian
3) Tidak ditemukan bahan yang diperlukan murid sebagai pedoman
4) Bahan yang disampaikan terlalu banyak sedangkan waktu amat terbatas
5) Apabila tidak ada alat-alat lain kecuali bahasa lisan
b. Keuntungan metode ceramah
1) Pelajaran bisa dilaksanakan dengan cepat, karena dalam waktu yang sedikit dapat diuraikan bahan yang banyak
2) Tidak membutuhkan tenaga yang banyak dan waktu yang lama
3) Organisasi kelas sangat sederhana karena tidak membutuhkan alat-alat yang begitu banyak

c. Kelemahan metode  ceramah
1) Guru lebih aktif sedangkan murid pasif
2) Guru kurang dapat mengetahui dengan pasti sejauh mana siswa telah menguasai bahan ceramah
3) Tidak memberikan kesempatan siswa untuk memecahkan masalah dan berfikir, karena siswa diarahkan untuk mengikuti pikiran guru
4) Kurang memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan kecakapan dalam berpendapat
d. Pemecahan masalah (solusi)
1) Susunlah ceramah secara sistematis
2) Selingilah metode ceramah dengan metode yang lainnya untuk menghilangkan kebosanan anak



















KESIMPULAN

Banyak metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran pendidikan  agama Islam, diantaranya :
1. Metode PAIKEM GEMBROT (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Efektif Menyenangkan Gembira Berbobot)
2. Metode Demonstrasi
3. Metode Tanya Jawab
4. Metode Diskusi
5. Metode Kisah
6. Metode Ceramah
Dan masih banyak lagi metode yang bisa digunakan dalam pembelajaran pendidikan Islam.


















Daftar Pustaka

Ahmadi, Lif Khoiru. 2011. Paikem Gembrot. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Arifin,M.1994. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. 7 Tips Aplikasi Pakem. Jogjakarta: Diva Press
Ghuddah, Abd Al-Fattah. 2005. 40 Strategi Pembelajaran Rasulullah. Jogjakarta: Tiara Wacana
Ramayulis.1990. Metode Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Usman, M. Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pers
(http://sarkomkar.blogspot.com/2009/11/ict-dan-inovasi-pembelajaran.html)



Perbandingan madzhab

QOBLIYAH JUM’AT dan JUMLAH ADZAN JUM’AT
Disusun  Untuk  Memenuhi  Salah  Satu  Tugas  Mata  Kuliah
“ PERBANDINGAN MADZHAB“
Dosen  Pembimbing
Dra. Siti Muhtamiroh, M.Si







Disusun  oleh :

Iis Syafa’atul Hasanah 111-11-002
Edy Supriyanto 111-11-009
Sri Sulastri 111-11-012


TARBIYAH PAI
SEKOLAH  TINGGI  AGAMA  ISLAM  NEGERI  (STAIN)
SALATIGA
Jalan Tentara Pelajar no.2 Salatiga

KATA  PENGANTAR

Puji  syukur  kehadirat Allah SWT. Yang  telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya  sehingga  kami  dapat  menyelesaikan  tugas makalah “PERBANDINGAN MADZHAB” yang di susun guna memenuhi syarat perkuliahan.
Sholawat  serta  salam  kita  sanjungkan  kepada  Nabi  Muhammad  SAW. Yang  telah  membawa  umatnya  dari  zaman  jahiliyah  menuju  zaman Islamiyah  seperti  sekarang  ini.
Rasa  terima  kasih  kami  sampaikan  pula  kepada Ibu Siti Muhtamiroh selaku Dosen pembimbing.
Kami menyadari dalam penyusunan tugas ini pasti terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga bermanfaat bagi pembaca  umumnya  dan  penyusun  pada  khususnya. Amin


                                                                                                                                                   
Salatiga 19 Maret 2013
   

Penyusun











DAFTAR ISI


Halaman  Sampul i        
Kata  Pengantar           ii
Daftar  Isi iii

BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang                4
Rumusan  Masalah                4
BAB II : PEMBAHASAN
Pengertian Adzan dan adzan yang diperselisihkan 6
Sholat Sunnah Qobliyah Jum’at menurut 4 madzhab 8
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan           11
Daftar pustaka 12










BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi.
Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap berbagai masalah jumlah adzan shalat jum’at dan qabliyah jum’at. Untuk itu kami mencoba memaparkan pandangan berbagai mazhab dalam Islam mengenai berbagai masalah tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Berapa jumlah adzan dalam sholat jum’at menurut 4 madzhab?
2. Apa pengertian sholat Qabliyah jum’at?
3. Apa hukum sholat Qabliyah jum’at menurut 4 madzhab?
 BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Adzan

Secara bahasa adzan adalah bentuk ism dari ta’dzin yang berarti pemberitahuan. Sedangkan secara istilah adzan adalah pemberitahuan mengenai masuknya waktu shalat dengan kalimat-kalimat yang ditentukan oleh syariat.

B. Adzan Jum’at yang diperselisihkan

Sering dijumpai dalam pelaksanaan ibadah shalat Jum’at adanya sedikit perbedaan antara satu masjid dengan lainnya. Perbedaan itu antara lain terletak pada adzan. Adzan Jum’at di Masjid tertentu dilaksanakan dua kali, ada juga di masjid yang lain hanya dilaksanakan satu kali. Bagi kelompok tertentu dirasa kurang afdhal atau bahkan dinilai tidak sah jika ibadah Jum’at tidak dengan dua kali adzan. Sementara bagi sebagian umat Islam lainnya, tidak afdhal jika adzan dilaksanakan lebih dari satu kali.

Dilihat dari sejarah, perintah ibadah shalat Jum’at turun ketika Rasulullah masih berdakwah di Makkah. Sementara, situasi Makkah saat itu belum memungkinkan untuk menyelenggarakan shalat Jum’at. Karena memang pada saat itu Rasulullah dan umat Islam tengah menghadapi berbagai tindakan kekerasan dari orang-orang kafir Makkah.

Melihat hal itu, kemudian Rasulullah memerintahkan seorang sahabatnya, Mush’ab bin Umair, untuk menyelenggarakan ibadah Jum’at di Madinah. Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa adzan dalam ibadah jum'’t yang diselenggarakan sejak zaman Rasulullah hingga Umar hanya satu. Yaitu dilaksanakan ketika khatib yang sekaligus dia juga menjadi imam, naik ke mimbar untuk berkhutbah. Setelah masa itu, yakni pada masa Utsman bin Affan, ketika sudah banyak berkembang pusat-pusat jual beli dan orang sibuk di dalamnya, dia berinisiatif untuk memanggil lebih awal orang-orang itu untuk berjum’at, dengan cara menambah adzan menjadi dua kali.

Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari :


عَنِ الزُّهْرِى قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنِ يَزِيْدَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ اِنَّ اْلاَذَانَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَانَ اَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا اَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِاْلأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذَّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ اْلاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء 1 ص 315 رقم 916)

Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang (Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916)

Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar.

 ‏ ‏[‏قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‏‏:‏ وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاوِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ‏.

Berkata Asy-Syafi’ie ; Dan sesungguhnya ‘Atha memungkiri (tidak menyetujui) perbuatan itu bahwa Utsman telah melakukan perbuatan muhdats (baru) akan tetapi ia (‘Atha) berkata bahwa Mu’awiyahlah yang melakukan perbuatan muhdats itu. Wallohu a’lam.

Bagi masjid yang menyelenggarakan ibadah jum’at dengan hanya satu kali adzan berarti mengikuti apa yang dilaksanakan pada masa Rasulullah hingga Umar. Sedangkan yang melaksanakan jum’at dengan dua kali adzan mengikuti jejak yang telah dibuat oleh Utsman bin affan. Imam Syafi’I dalam persoalan ini lebih memilih adzan satu kali, alasannya amaliyah yang ada pada masa Rasulullah itulah yang cocok bagi dirinya.

Meskipun adzan dilaksanakan dua kali, yang berarti tidak sama dengan masa Rasulullah, hal itu tidak bisa dikatakan menyimpang dari sunnahnya. Karena dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa umat islam harus mengikuti sunnah-sunnah Rasul dan juga Khulafa’ al-Rasyidin, yang mana Utsman termasuk di dalamnya. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
فعليكم بعدي بسنتي وسنة خلفآء الراشدين من
“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin sesudah aku”. (Musnad Ahmad bin Hanbal)
C. Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at
Di sebagian masyarakat muslim sebelum mereka menjalankan ibadah Jum’at yang ditandai dengan dimulainya khutbah, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan shalat qabliyah jum’at. Ada yang melakukannya sebanyak dua rakaat ada pula yang empat rakaat. Akan tetapi pada saat yang sama dan di masjid yang sama pula ada sebagian yang tidak menjalankan. Sesuatu yang dapat dipastikan dari hal itu adalah, keduanya dipastikan memiliki dasar pengalamannya masing-masing, yang sudah tentu berbeda.
Para ulama sepakat bahwa shalat sunnah yang dilakukan setelah jum’at adalah shalat sunnah, dan termasuk rawatib ba’diyah jum’at. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan shalat sunnah Qabliyah jum’at terdapat dua kemungkinan :
1) Shalat Sunnah Muthlaq. Waktu pelaksanaannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.
2) Shalat sunnah qabliyah Jum’at. Para ulama berbeda pendapat seputar masalah ini, yaitu sebagai berikut :
a) Dianjurkan melaksanakannya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, pengikut Imam Syafi’I dan pendapat pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayatnya yang tidak masyhur.
Dalilnya adalah :

- Hadits Rasul yang artinya :
“Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnah qabliyah dua raka’at.” (HR. Ibnu Hibban yang dianggap shahih  dari hadits Abdullah bin Zubair).
- Hadits Nabi SAW  yang artinya :
“Di antara dua adzan dan iqomat terdapat shalat sunnah, Di antara dua adzan dan iqomat terdapat shalat sunnah, Di antara dua adzan dan iqomat terdapat shalat sunnah bagi yang ingin melakukannya. (HR. Bukhari dan Muslim dari riwayat Abdullah ibnu Mughoffal)
Pendapat Para Ulama Syafi’iyah :

Hasiyah Al-Bajury : “Shalat jum’at itu sama dengan shalat dzuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat rakaat dan setelahnya empat rakaat.

Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi : “Disunnahkan shalat sebelum   jum’at sebagaimana shalat sebelum dzuhur.”

Iqna’ oleh  Syaikh  Khatib Syarbini : “Jum’at ini sama dengan shalat dzuhur. Disunnahkan sebelumnya empat rakaat dan setelahnya empat rakaat.”
b) Tidak dianjurkan untuk melaksanakannya, yaitu
pendapat Imam Malik, pengikut Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayatnya yang masyhur.
- Hadits Abu Hurairah RA yang berbunyi: “ Dan beliau SAW biasa mengerjakan shalat dua raka’at sebelum jum’at dan empat raka’at setelahnya.” (HR. Al-Bazzar, di dalam sanadnya terdapat kelemahan).

- Hadits Ali Bin Abi Thalib RA yang menyebutkan bahwa, “Beliau SAW biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum jum’at dan empat raka’at setelahnya.” (HR. Al-Atsram dan Thabrani, didalam sanadnya terdapat rawi yang lemah, yaitu Muhammad Bin Abdurrahman As-Sahmi).

Tetapi dalam dalam kitab yang sama lewat riwayat Abi Hurairoh berkata"nabi telah melakukan sholat sunnat dua rakaat qobliyah dan ba'diyah Jum'at" Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya sholat sunnat qobliyah Jum'at adalah sbb. : Hadist dari Saib Bin Yazid: "pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqomat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqomat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim). Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat "ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi langsung berkhotbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khotbah, lantas kapan mereka itu melaksanakan sholat sunnat qobliyah Jum'at?

Permasalahan ini adalah khilafiyah furu'iyyah.(perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh fanatik di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih.(Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan kita tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati ulama.)
























BAB III
P E N U T U P

A. KESIMPULAN

1. Jumlah Adzan shalat jum’at
Ulama Syafi’iyyah telah menetapkan bahwa adzan yang disyari’atkan pada hari Jum’at hanya satu kali saja, yaitu adzan yang dikumandangkan saat Imam/Khathib telah naik mimbar. Dan hal itu mengacu pada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kedua shahabat beliau: Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma

2. Qabliyah shalat jum’at
Imam Abu Hanifah, pengikut Imam Syafi’I dan pendapat pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayatnya yang tidak masyhur menganjurkan untuk melaksanakan shalat qabliyah jum’at.
Imam Malik, pengikut Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayatnya yang masyhur tidak menganjurkan melaksanakan shalat qabliyah jum’at.












Daftar Pustaka


Arifin Gus, Sudah benarkah shalat kita, Jakarta : Kompas Gramedia, 2009

Asror Miftahul, The power of azan kedahsyatan cahaya spiritual azan, Yogyakarta : Madania, 2010

Maimun Achmad, Mengurai kebekuan khilafiyah, Salatiga : Stain salatiga press, 2009


fiqih 2

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalat
Dosen Pengampu, Sukron Ma’mun, M.Si



Disusun:
Sri sulastri  11111012

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillah tiada kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa syukur, selain puja dan puji bagi Allah swt. Sang penguasa hati dan kehidupan hamba-hamba-Nya. Dengan perkenan dari-Nyalah kami sanggup menyelesaikan makalah tentang “Bagi Hasil” ini dengan lancar.
Istilah Bagi hasil dengan pengertian bepergian untuk berdagang digunakan oleh ahli (penduduk) Irak. Sedangkan ahli (penduduk) Hijaz menggunakan istilah Qiradh, yang diambil dari kata Qardh yang artinya memotong. Dinamakan demikian, karena pemilik modal memotong sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan oleh ‘amil dan memotong sebagian dari keuntungannya.
Makalah ini disusun selain guna memenuhi  tugas mata kuliah fiqih muamalat juga untuk memberikan tambahan wawasan kepada para penbaca mengenai sebagian kecil dari pembahasan fiqih muamalat yaitu bagi hasil (mudhorobah, musyarokah, muzara’ah dan musaqoh). Sehingga menjadi bertambah pula pengetahuan tentang fiqih muamalat itu sendiri.
Sumbangan tulisan dan pemikiran dari teman-teman kelompok 2 dalam penyusunan ini adalah andil besar dalam terselesainya makalah fiqih muamalat ini. Untuk itu ucapan terima kasih kami persembahkan kepada teman-teman atas segala pemikirannya.

Salatiga,   Maret 2013


Penulis
BAB I

A. LATAR BELAKANG
Mudharabah diambil dari kata ضَارَبَ yang artinya melakukan perjalanan untuk berdagang. Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.
Dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta dengan tenaga. Disamping itu, juga terdapat unsur syirkah (kepemilikan bersama) dalam keuntungan. Namun, apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengelola tidak dibebani kerugian karena ia telah rugi tenaga tanpa keuntungan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan mudhorobah?
2. Apa yang dimaksud dengan musyarokah?
3. Apa yang dimaksud dengan muzara’ah?
4. Apa yang dimaksud denganmusaqah?
C. TUJUAN
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih muamalat.
2. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai mudhorobah, musyarokah, muzara’ahdan musaqah.
3. Memahami hal-hal yang berkaitan dengan bagi hasil (mudhorobah).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mudharabah
1. Definisi Mudharabah
Mudharabah diambil dari kata  فِي الآَرْضِالضَرْبُ yangg artinya “لِلتَّجَارَةِالسَّفَرُ” yakni melakukan perjalanan untuk berdagang. Dalam al-Qur’an surat al-Muzammil:20 disebutkan:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah swt”.
Mudharabah dalam bahasa Arab juga berasal dari kata ضَارَبَ yang anonimnya اِتَّجَرَ seperti dalam kalimatلِفُلاَنِ فِي مَالِهِ  ضَارَبَ yang artinya  فِيهِاِتَّجَرَلَهُ yakni ia memberikan modal untuk berdagang kepada si Fulan.
IstilahMudharabah dengan pengertian bepergian untuk berdagang digunakan oleh ahli (penduduk) Irak. Sedangkan ahli (penduduk) Hijaz menggunakan istilah Qiradh, yang diambil dari kata Qardh yang artinya memotong. Dinamakan demikian, karena pemilik modal memotong sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan oleh ‘amil dan memotong sebagian dari keuntungannya.
Mudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.
Dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerja sama, hanya saja bukan kerja sama antara harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta dengan tenaga. Disamping itu, juga terdapat unsur syirkah (kepemilikan bersama) dalam keuntungan. Namun, apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengelola tidak dibebani kerugian karena ia telah rugi tenaga tanpa keuntungan.
2. Dasar Hukum Mudharabah
Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Adapun dalil dari al-Qur’an surat al-Muzammil:20 yang berbunyi:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الآَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنء فَضْلِ اللهِ...
Artinya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah swt”.
Sedangkan dari sunnah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik:
عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عن أبِيهِ عن جَدِّهِ:أَنَّ عُثْمَا نَ بْنَ عَفَّا ن أَعْطَا هُ مَا لاً قِرَاضًا يَعْمَلُ فِيْهِ عَلَى أَنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا
Artinya:
“Dari ‘Ala’ bin Adurrahman dari ayahnya dari kakeknya bahwa Utsman bin Affan memberinya harta dengan cara qiradh yang dikelolanya dengan ketentuan keuntungan dibagi diantara mereka berdua”. (HR. Imam Malik)
Dari ayat al-Qur’an dan hadis tersebut jelaslah bahwa mudharabah (qiradh) merupakan akad yang dibolehkan. Hadis diatas dijelaskan tentang praktik mudharabah oleh Utsam sebagai pemilik modal dengan pihak lain sebagai pengelola.
Adapun dalil dari ijma’, pada zaman sahabat sendiri banyak para sahabat yang melakukan akad mudharabah dengan cara memberikan harta anak yatim sebagai modal kepada pihak lain, seperti Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amir, dan Siti Aisyah. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut ijma’.
Sedangkan dalil dari qiyas adalah bahwa mudharabah di-qiyas-kan kepada akad musaqah, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan dalam realita kehidupan sehari-hari, ada yang kaya dan ada yang miskin. Kadang-kadang ada orang kaya yang memiliki harta, tetapi ia tidak memiliki keahlian untuk berdagang, sedangkan dipihak lain ada orang yang memiliki keahlian bardagang, tetapi iatidak memiliki harta (modal). Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut, maka kebutuhan masing-masing bisa dipadukan, sehingga menghasilkan keuntungan.
Hukum mudharabah ada 2, yaitu:
a. Mudharabah fasid
Apabila syarat-syarat yang tidak selaras dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiah, Syafi’iyah, Hanabilah mudharib tidah berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu melainkan ia hanya memperoleh upahyang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik kegiatan mudharabah tersebutmemperoleh keuntungan atau tidak.
Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa mudharib dalam semua hukum mudharabah yangfasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain dalam hal-hal yang bisa dihitung dan ia berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl (qiradh yang sepadan), yaitu:
1. Qiradh dengan modal barang bukan uang.
2. Keadaan keuntungan yang tidak jelas.
3. Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti 1 tahun.
4. Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang.
5. Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.
b. Mudharabah yang Shahih
Mudharabah yang shahih adalah suatu akad mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah yang shahih ini meliputi beberapa hal, yaitu:
1. Kekuasaan mudharib.
2. Pekerjaan dan kegiatan mudharib.
3. Hak mudharib.
4. Hak pemilik modal.
3. Rukun Mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan lafal yang menunjukan kepada arti mudharabah. Lafal yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, muqharadah dan mu’amalah atau lafal-lafal lainyang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut.
Pemilik modal mengatakan: “Ambilah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi diantara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat atau sepertiga”.
Adapun lafal qabul yang digunakan oleh ‘amil mudharib (pengelola) adalah lafal: saya ambil (أَخَذْتُ ), atau saya terima (قَبِلْتُ ) dan semacamnya. Apabila ijab dan qabul terpenuhi maka akad mudharabah telah sah.
Menurut jumhur ulama’, rukun mudharabah ada 3 yaitu:
a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola.
b. Ma’qud ‘alaih, yaitu modal tenaga (pekerja) dan keuntungan.
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada 5 yaitu:
a. Modal.
b. Tenaga (pekerjaan).
c. Keuntungan.
d. Shighat.
e. ‘Aqidain.

4. Syarat dan Macam Mudharabah
a) Syarat-syarat mudharabah
Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar mudharabah sah yang berkaitan dengan ‘aqid, modal dan keuntungan.
1) Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid
Adalah bahwa ‘aqid, baik pemilik modal maupun pengelola harus orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan melaksanakan wakalah.
2) Syarat yang berkaitan dengan modal
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal adalah sebagai berikut:
 Modal harus berupa uang tunai, seperti dinar, dirham, rupiah, dolar dan lain sebagainya,
 Modal harus jelas dan diketahui ukurannya, apabila modal tidak jelas maka mudharabah tidak sah.
 Modal harus ada dan tidak boleh berupa hutang, tetapi tidak berarti harus ada di majlis akad.
 Modal harus diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan modal tersebut merupakan amanah yang berada ditangan pengelola. Syarat ini disepakati oleh jumhur ulama’.
3) Syarat yang berkaitan tentang keuntungan
Antara lain sebagai berikut:
 Keuntungan harus diketahui kadarnya.
 Keuuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan pembagian secara nisbah.
b) Macam mudharabah
Mudharabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
 Mudharabah mutlaq, yaitu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan modal kepada ‘amil tanpa disertai dengan pembatasan.
 Mudharabah muqayyad, yaitu suatu akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan yang berkaitan dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha,
barang yang menjadi objek usaha, waktu dan dari siapa barangg itu dibeli.
5. Hal-hal yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal, yaitu:
a) Pembatalan, larangan tasarruf dan pemecatan.
b) Meninggalnya salah satu pihak.
c) Salah satu pihak terserang penyakit gila.
d) Pemilik modal murtad.
e) Harta mudharabah rusak ditangan  mudhorib.

B. MUSYAROKAH
C. MUZARA’AH
1. Definisi dan Dasar Hukum Muzara’ah
a) Definisi Muzara’ah
Fi’il madhi muzara’ah adalah zara’a  yang artinya mengadakankerja sama. Sedangkan menurut istilah muzara’ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka. Dalam muzara’ah ini Syafi’iyah mensyaratkan bibit tanaman harus dikeluarkan oleh pemilik tanah. Apabila bibit dikeluarkan oleh penggarap, maka istilahnya bukan muzara’ah melainkan mukhabaroh.
b) Dasar Hukum Muzara’ah
Muazarah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam As-Syafi’i tidak membolehkannya. Akan tetapi sebagian Syafi’iyah membolehkannya dengan alasan kebutuhan. Mereka beralasan dengan hadis Nabi saw:
وَعَن ثَابِتِ بنِ الضَّحَّا كِئ رضي الله عنه أنَّ رسو لَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نَّهَى عَنِ الْمُنَا رَعَةِ وَأَمَرَ بِا لْمُؤَاجَرَةِ
Artinya:
“Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang untuk melakukan muzara’ah, dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa menyewa).
Menurut jumhur ulama’, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin Malik, Ahmad dan Dawud Azh-Zhahiri, muszara’ah itu hukumnya boleh.

Disamping itu muzara’ah adalah salah satu bentuk syirkah yaitu kerja sama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut maka lahan yang menganggur bisa bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa memperoleh pekerjaan.
2. Rukun dan Syarat-syatar Muzara’ah
a) Rukun Muzara’ah
Menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yaitu berupa pernyataan pemilik tanah. Sedangkan menurut jumhur ulama’ sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun muzara’ah ada 3 yaitu:
1) ‘Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2) Ma’qud ‘alaih (objek akad), yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.
3) Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak diperlukan qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan tanah secara langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan perbuatan (bil fi’li).
b) Syarat-syarat Muzara’ah
1) Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman, tanah yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa muzara’ah.
2) Menurut Malikiyah
Syarat muzara’ah ada 3, yaitu:
 Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit (benih).
 Kedua belah pihak yang berserikat.
 Bibit yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama jenisnya.
3) Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan dalam muzara’ah persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan pengelola (penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah penggarapan tanah dengan imbalan hasil yang keluar dari padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4) Menurut Hanabilah
Mereka mensyaratkan seperti halnya Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut:
 Benih harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
 Bagian masing-masing pihak harus jelas.
 Jenis benih yang akan ditanamkan harus diketahui.


3. Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena terwujudnya maksus dan tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a) Masa perjanjian muzara’ah telah berakhir.
b) Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
c) Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap.
D. MUSAQAH
1. Definisi dan Dasar Hukum Musaqah
a) Definisi Musaqah
Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufa’alah dari kata as-saqyu yang sinonimnya asy-syurbu yang berarti memberi minum. Penduduk Madinah menamai musaqah sama dengan mu’amalah yang merupakan wazn mufa’alah dari kata ‘amila yang artinya bekerja (bekerja sama).
Sedangkan menurut istilah adalahsuatu akad antara dua orang dimana pihak pertama memberikan pepohonan dalam sebidang tanah perkebunan untuk diurus, disirami dan dirawat sehingga pohon tersebut menghasilkan buah-buahan, dan hasil tersebut dibagi diantara mereka berdua. Namun, Syafi’iyah membatasi perjanjian musaqah ini hanya dengan pohon kurma atau anggur saja, tidak diperluas kepada semua pepohonan.
b) Dasar Hukum Musaqah
Musaqah menurut Hanafiah sama dengan muzara’ah, baik hukum maupun syarat-syaratnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar, musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperolehnya, hukumnya batal, karena hal itu termasuk akad sewa menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya dan hal tersebut dilarang oleh syara’, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw dari Rafi’ bin Khadij bahwa Nabi saw bersabda:
 كَا نَتْ لَهُ أرْضٌ فَلْيَزْ رَعْهَا , وَلاَ يُكْرِيْهَا بِثُلُثِ وَلاَ بِرُبِعِ وَلاَ بِطَعَمِ مُسَمًىمَنْ
Artinya:
“Brang siapa yang memiliki sebidang tanah,maka hendahlah ia menanaminya, dan janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga  dan tidak pula seperempat (dari hasilnya) dan tidak juga dengan makanan yang disebutkan (tertentu).
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama’, musaqah diperbolehkan.
2. Rukun Musaqah
Menurut Hanafiah, rukun musaqah adalah ijab dan qabul. Ijab dinyatakan oleh pemilik pepohonan sedangkan qabul diucapkan oleh penggarap. Menurut Malikiyah, akad musaqah mengikat lazim  dengan diucapkannya lafal ijab qabul, tidak dengan pekerjaan. Sedangkan menurut Hanabilah, musaqah sama dengan muzara’ah tidak perlu qabul dengan lafal, melainkan cukup memulai dengan penggarapan secara langsung. Syafi’iyah justru mensyaratkan adanya qabul dengan lafal.
Menurut jumhurulama’, rukun musaqah ada 3, yaitu:
1) ‘Aqidain, yaitu pemilik kebun dengan penggarap.
2) Objek akad, yaitu pekerjaan dam buah.
3) Shighat, yaitu ijab dan qabul.
3. Berakhirnya Akad Musaqah
Seperti halnya akad muzara’ah, akad musaqah berakhir karena beberapa hal yaitu:
a) Telahselesainya maa yang disepakati oleh kedua belahpihak. Dalam hubungan ini, Syafi’iyah berpendapat apabila buah keluar setelah habisnya masa musaqah maka penggarap tidak berhak untuk mengambilnya karena masa penggarapan sudah habis. Akan tetapi menurut Hanafiah, apabila sampai dengan masa habisnya musaqah, buah belum keluar atau belum masak maka berdasarkan istihsan, musaqah masih tetap berlaku sampai buah menjadi masak dan penggarap diberikan pilihan apakah mau berhenti atau terus bekerja tanpa diberi upah.
b) Meninggalnya salah satu pihak. Hanabilah berpendapat bahwa musaqah tidak batal karena meninggalnya penggarap. Apabila penggarap meninggal maka ahli warisnya menggantikan tempat penggarap dalam bekerja. Apabila mereka menolak maka mereka tidak boleh dipaksa untuk bekerja. Dalam hal ini, atas dasar putusan hakim, ahli waris pemilik boleh menyewa orang untuk bekerja dengan imbalan yang diambil dari harta warisnya.
c) Akadnya batal disebabkan iqalah (pernyataan batal)secara jelas atau secara uzur. Menurut Syafi’iyah, musaqah tidak batal karena adanya uzur. Apabila penggarap berkhianat misalnya, maka ditunjuklah seorang pengawas yang mengawasi pekerjaanya sampai selesai. Sedangkan Hanabilah, sama pendapatnya dengan Syafi’iyah, yaitu musaqah tidak batal karena adanya uzur. Apabila penggarap sakit misalnya, dan ia tidak mampu bekerja maka ditunjuk orang lain yang menggantikannya untuk sementara, tanpa mencabut kewenangan penggarap.
4. Perbedaan antara Musaqah dan Muzara’ah
Menurut Hanafiah, musaqah sama dengan muzara’ah kecuali dalam 4 hal yaitu:
a) Dalam musaqah, apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan akad maka ia bisa dipaksa, sedangkan dalam muzara’ah hal tersebut tidak bisa dilakukan.
b) Apabila masa perjanjian musaqah sudah habis maka akad diteruskan tanpa upah sampai pohon berbuah. Sedangkan dalam muzara’ah, apabila masa sudah habis dan hasilnya belum keluar maka penggarap terus bekerja dengan mendapat upah yang sepadan dengan bagian dari hasil garapannya.
c) Dalam musaqah, apabila pohon kurma yang berbuah diminta oleh selain pemilik tanah maka penggarap harus diberi upah yang sepadan. Sedangkan dalam muzara’ah, jika pohon diminta sesudah ditanami maka penggarap berhak atas nilai bagiannya dari tanaman yang tumbuh. Akan tetapi, apabila tanah diminta setelah dimulai pekerjaan dan sebelum ditanami maka penggarap tidak memperoleh apa-apa.
d) Penjelasan tentang masa dalam musaqah bukan merupakan syarat berdasarkan istihsan, melainkan cukup dengan mengetahui waktunya berdasarkan adat kebiasaan. Sedangkan dalam muzara’ah, menurut usul madzhab Hanafi waktu harus ditentukan meskipun dalam fatwanya waktu musaqah tidak perlu dinyatakan denagn tegas.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa dalam fiqih muamalat, IstilahMudharabah dengan pengertian bepergian untuk berdagang digunakan oleh ahli (penduduk) Irak. Sedangkan ahli (penduduk) Hijaz menggunakan istilah Qiradh, yang diambil dari kata Qardh yang artinya memotong
.  
Fi’il madhi muzara’ah adalah zara’a  yang artinya mengadakankerja sama. Sedangkan menurut istilah muzara’ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi diantara mereka.
Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufa’alah dari kata as-saqyu yang sinonimnya asy-syurbu yang berarti memberi minum. Penduduk Madinah menamai musaqah sama dengan mu’amalah yang merupakan wazn mufa’alah dari kata ‘amila yang artinya bekerja (bekerja sama).
Sekian makalah yang dapat kami buat, kami sangat menyadari keterbatasan kami sebagai manusia yang tentunya berpengaruh pada hasil karya kami. Oleh karena itu, apabila karya ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan kami mohon maaf yang seikhlas-ikhlasnya kepada segenap pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat serta dapat menambah wawasan para pembaca dan kami juga berharap makalah ini dapat diterima sebagai pemenuhan nilai tugas dan pembelajaran, terima kasih atas perhatian dan partisipasinya.
Wassalamu’alaikum wr.wb





DAFTAR PUSTAKA


Metodologi Penelitian

MAKALAH
LANGKAH – LANGKAH PENELITIAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Metodologi Penelitian”
Dosan Pengampu:Dr. M. Zulfa, M.Ag







Disusun oleh:
Sri Sulastri 111-11-012
Iin Masidhoh 111-11-013
Khairus Sa’adah 111-11-019





JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
TAHUN AJARAN 2013 / 2014
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
  Telah kita ketahui bersama bahwa Penelitian merupakan suatu rangkaian kegiatan ilmiah yang berawal dari adanya suatu permasalahan yang hendak dicarikan jawabannya. Oleh karena itu, penelitian memiliki ciri kerja ilmiah. Dua diantaranya adalah jelasnya tujuan yang hendak dicapai dan adanya prosedur pelaksanaan yang sistematis. Maksud dari jelasnya tujuan yang hendak dicapai adalah adanya arah yang jelas dan target yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian tersebut. Sistematika kerja sangat penting artinya dalam pelaksanaan penelitian agar validitas, sehingga hasil penelitian dapat terjamin dan laporan penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya sistematika kerja maka kegiatan akan dapat dilaksanakan dengan metode dan prosedur yang tepat dalam arah yang tetap menuju kepada sasaran atau target yang telah ditetapkan.
Guna mencapai tujuan penelitian dan memelihara sistematika kerja yang diinginkan, suatu spektrum  penelitian umum yang memperlihatkan langkah – langkah kegiatan penelitian akan kami uraikan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Penelitian?
2. Bagaimanakah ciri-ciri Penelitian ?
3. Bagaimanakah Langkah-Langkah Penelitian yang sistematis?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penelitian
Penelitian adalah suatu proses, yaitu suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu (Metodologi penelitian, Sumadi Suryabrata, 1995: 59 ). Adapun penelitian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat ilmiah, artinya melalui prosedur yang sistematik dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan berupa fakta yang diperoleh secara obyektif.
2. Merupakan suatu proses yang berjalan terus-menerus, sebab hasil suatu penelitian selalu dapat disempurnakan lagi (Pengantar Metodologi Penelitian, Hermawan Wasito, 1993). 
 Sedangkan  ilmu yang membahas metode ilmiah dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan disebut metodologi penelitian.
B. Langkah-Langkah dalam Penelitian
Adapun langkah-langkah penelitian itu pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Penentuan atau pemilihan masalah
Dari berbagai masalah perlu dipilih salah satu, yaitu yang mana yang paling layak untuk diteliti. Jika yang di ketemukan sekiranya hanya satu masalah, masalah tersebut juga harus dipertimbangkan layak dan tidaknya serta serta sesuai dan tidaknya untuk diteliti (Sumadi Suryabrata, 1995:63).
Ada dua sudut tinjauan yang digunakan untuk pemilihan atau penentuan masalah, yaitu:
a. Pertimbangan dari arah masalahnya
Untuk menentukan apakah suatu masalah layak untuk diteliti perlu dibuat pertimbangan-pertimbangan dari arah masalahnya atau dari sudut obyektif. Dari sudut obyektif, pertimbangan akan dibuat atas dasar sejauh  mana penelitian mengenai masalah yang bersangkutan itu akan memberikan sumbangan kepada pengembangan teori dalam bidang yang bersangkutan dengan dasar teoritis penelitiannya dan pemecahan masalah-masalah praktis.
b. Pertimbangan dari arah calon peneliti
Dalam hal ini, peneliti harus melihat kemampuannya, waktu, dana, penguasaan metode yang diperlukan, bekal kemampuan teoretis, dan tenaga yang tersedia untuk melakukan penelitian. Ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu data yang dapat diperoleh dan masalah yang dapat ditangani. Apabila masalah yang dipilih sesuai dengan kemampuan atau pengetahuan peneliti dan data yang diperlukan dapat diperoleh, penelitian dapat berjalan dengan lancar (Sumadi Suryabrata, 1995:64).
2. Latar Belakang Masalah
  Penguraian latar belakang permasalahan dimaksudkan untuk mengantarkan dan menjelaskan mengenai latar belakang mengapa sesuatu dianggap sebagai permasalahan, fenomena apakah yang tampak di mata peneliti atau yang terjadi di lapangan sehingga memerlukan penelitian. Pada dasarnya, permasalahan diuraikan sebagai suatu kondisi kesenjangan atau ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya terjadi dan apa yang sesungguhnya sedang terjadi (Saifuddin Azwar, 2007 : 29-30). 
3. Perumusan Masalah
Setelah masalah penelitian ditentukan dan dipahami, langkah selanjutnya adalah membuat rumusan masalah dengan jelas. Tidak ada aturan umum mengenai cara merumuskan masalah itu, namun dapat disarankan hal-hal berikut ini:
a. Masalah hendaklah dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya
b. Rumusan itu hendaklah padat dan jelas
c. Rumusan itu hendaklah memberi petunjuk tentang mungkinnya mengumpulkan data guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam rumusan itu (Abdurrahmat Fathoni, 2011 : 16).
4. Telaah Kepustakaan
Telaah kepustakaan merupakan studi pendahuluaan yang bertujuan untuk mencari data tentang masalah penelitian. Tahap ini sangat penting karena merupakan dasar penyusunan kerangka teoritas. Dan, kerangka teoritis ini berguna untuk menuntun pemecahan masalah. Telaah kepustakaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mempelajari dokumen atau hasil penelitian terdahulu dan mempelajari berbagai buku sehubungan dengan masalah penelitian (Hermawan wasito, 1993:22).
5. Tujuan dan kegunaan penelitian
a. Tujuan penelitian
Dalam tujuan penelitian diuraikan apa yang akan dicapai. Oleh karena itu, biasanya tujuan penelitian disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
b. Kegunaan penelitian
Uraian kegiatan penelitian menjadi dasar informasi untuk mengajukan saran dan rekomendasi kepada pihak lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan (Hermawan wasito, 1993:23).
6. Perumusan hipotesis
Perumusan hipotesis merupakan langkah yang sangat penting, sebab hipotesis digunakan sebagai dasar pengumpulan data dan penarikan kesimpulan (hasil penelitian). Hipotesis itu sendiri merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah penelitian. Bagian dari tahap ini mencakup perumusan hipotesis yang menyarankan anggapan-anggapan yang perlu diuji melalui penelitian (M. Suparmoko, 1999:19).
Terhadap hipotesis yang sudah dirumuskan peneliti dapat bersikap 2 hal :
a. Menerima keputusan seperti apa adanya seandainya hipotesisnya tidak terbukti (pada akhir penelitian)
b. Mengganti hipotesis seandainya melihat tanda-tanda bahwa data yang terkumpul tidak mendukung terbuktinya hipotesis (pada saat penelitian berlangsung) (Prosedur Penelitian, Suharsimi Arikunto, 2010:111).
7. Metodologi penelitian
Metodologi penelitian mencakup prosedur dan alat yang digunakan dalam penelitian. Dalam prosedur penelitian diuraikan tahapan atau urutan pelaksanaan penelitian. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian merupakan alat pengumpulan data. Sehubungan dengan hal tesebut, pemilihan metode penelitian dilakukan berdasarkan pada teknik penentuan sempel (teknik sampling) dan teknik pengumpulan data yang digunakan (Hermawan wasito, 1993:24).
8. Penyusunan Administrasi Penelitian
Tiga faktor utama yang perlu diperhatikan dalam penyusunan administrasi penelitian adalah:
a. Personalia (tenaga peneliti) yang terdiri atas: Pimpinan proyek penelitian, pembantu pemimpin, rekan peneliti (dan tenaga lapangan), dan tenaga administrasi
b. Anggaran, yang dicantumkan dalam usulan proyek penelitian. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran adalah honorarium, peralatan yang tak habis pakai, bahan atau alat yang dipakai dalam transportasi
c. Jadwal kegiatan yang mencakup: perencanaan penelitian, persiapan, pengumpulan, analisis, dan interpretasi data serta penulisan laporan.
9. Pengumpulan Data
Data yang harus dikumpulkan mungkin berupa data primer, data sekunder, atau keduanya. Data primer diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan tehnik pengambilan data yang berupa interview maupun observasi. Data sekunder diperoleh dari sumber tidak langsung yang biasanya berupa dokumentasi dan arsip-arsip resmi (Metode Penelitian, Saifuddin Azwar, 2007: 36).
10. Pengolahan Data
Kegiatan pengolahan data diawali dari tabulasi data kedalam suatu tabel induk, klasifikasi data, analisis-analisis deskriptif, pengujian hipotesis penelitian, dan diakhiri oleh penyimpulan hasil analisis. Hasil analisis data di satu pihak menjadi dasar penolakan atau penerimaan hipotesis dan dilain pihak harus siap untuk dibahas dan di interpretasikan lebih lanjut dalam konteks pemecahan permasalahan (Saifuddin Azwar,2007 : 36-37).  
11. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk menyerdehanakan hasil olahan data sehingga mudah dibaca atau diinterpretasi. Dalam menganalisis data, jenis data yang diperoleh harus diperhatikan (kualitatif atau kuantitatif). Apabila data yang yang diperoleh berupa data kualitatif analisis non-statistik digunakan dalam proses analisisnya. Sebaliknya, data kuantitatif dianalisis dengan analisis statistik (Hermawan wasito, 1993:25).
12. Penafsiran Hasil Statistik
Dari hasil penafsiran ini, diperoleh kesimpulan penelitian yang menyatakan hipotesis yang dirumuskan diterima atau ditolak. 
13. Penyusunan Laporan
Tahap laporan merupakan kegiatan akhir untuk mempublikasikan hasil penelitian (Suharismi Arikunto, 2010:66).  Laporan tersebut dapat berbentuk makalah, laporan, skripsi, atau disertasi. Sedangkan sistematika penulisannya mengikuti format tertentu (Hermawan wasito, 1993:25).
BAB III
 PENUTUP
KESIMPULAN
1. Penelitian adalah suatu proses, yaitu suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematisguna mendapatkan pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu
 2. Ciri-ciri penelitian, sebagai berikut:
a. Bersifat ilmiah, artinya melalui prosedur yang sistematik dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan berupa fakta yang diperoleh secara obyektif.
b. Merupakan suatu proses yang berjalan terus-menerus, sebab hasil suatu penelitian selalu dapat disempurnakan lagi. Hasil penelitian tersebut dapat berlanjut atau di lanjutkan dengan penelitian lain
3. Langkah-langkah penelitian
 a. Penentuan atau pemilihan masalah
b. Latar Belakang Masalah 
c. Perumusan Masalah
d. Telaah kepustakaan
e. Tujuan dan kegunaan penelitian
f. Perumusan hipotesis
g. Metodologi Penelitian
h. Penyusunan administrasi penelitian
i. Pengumpulan data
j. Pengolahan data
k. Analisis data
l. Penafsiran hasil statistik
m. Penyusunan laporan


BAB IV
PERTANYAAN DAN JAWABAN
PERTANYAAN
1. Apa sebab penelitian harus dimulai dengan memilih masalah? 
2. Apa sikap yang harus dimiliki peneliti terhadap hipotesis yang sudah dirumuskan?
3. Sikap apa yang harus dimiliki oleh seorang peneliti? 
JAWABAN
1. Agar penelitian dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi dan dengan apa penelitian itu dilaksanakan.
2. Terhadap hipotesis yang sudah dirumuskan peneliti dapat bersikap 2 hal :
a. Menerima keputusan seperti apa adanya seandainya hipotesisnya tidak terbukti (pada akhir penelitian)
b. Mengganti hipotesis seandainya melihat tanda-tanda bahwa data yang terkumpul tidak mendukung terbuktinya hipotesis (pada saat penelitian berlangsung). (Prosedur Penelitian, Suharsimi Arikunto, 2010:111)
3. Hal yang sangat  perlu diperhatikan oleh peneliti adalah bahwa ia tidak boleh mempunyai keinginan kuat agar hipotesisnya terbukti dengan cara mengumpulkan data yang hanya bisa membantu memenuhi keinginannya, atau memanipulasi data sedemikian rupa sehingga mengarah keterbuktian  hipotesis. Penelitian harus bersikap objektif terhadap data yang terkumpul.



Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metodologi Penelitian dan teknik penyusunan skripi.  jakarta : Rineka Cipta
Suparmoko. 1999. Metode Penelitian Praktis. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta
Suryabrata, Sumadi.1995. Metodologi Penelitian. Jakarta : Rajawali pers
Wasito, Hermawan. 1993. Pengantar Metodologi Penelitian, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama