Sabtu, 28 September 2013

Masail fiqhiyah

MAKALAH
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Fiqh
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah masail fiqhiyah
Dosen Pengampu : Ilya Muhsin, S. HI, M.Si






















Oleh

Sri Sulastri (111 11 012 )
Iin Masidhoh ( 111 11 013)
Siti Kholifah ( 111 11 032)






JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA
TAHUN 2013
 BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kita tak pernah tahu sampai kapan fenomena nikah beda agama (NBA) akan terus berlangsung dan menjadi kontroversi. Mereka yang menentang pernikahan beda agama mengatakan bahwa meski pasangan NBA telah memenuhi rukun nikah dan melaksanakan akad nikah dengan mengucapkan ijab kabul, hubungan suami istri yang mereka lakukan tetap tidak sah dan perbuatan zina. Benarkah demikian?
Secara umum, para pasangan beda agama ini memiliki beberapa problem. Pertama, umumnya mereka tidak tahu persis apakah pernikahan beda agama ini dibolehkan oleh agama atau sebaliknya. Kedua, para calon pasangan NBA umumnya juga tidak tahu ke mana mereka harus mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi, karena langkanya agamawan (ulama/kyai, pendeta, pastur,dsb) yang memiliki pandangan membolehkan NBA. Ketiga, para pasangan beda agama ini juga tidak tahu bagaimana mereka bisa melangsungkan pernikahan, di masjid mana mereka bisa melangsungkan akad nikah, di gereja mana mereka bisa menerima pemberkatan, dan seterusnya. Keempat,para pasangan beda agama biasanya juga buta mengenai teknis pelaksanaan NBA. Mereka tidak tahu apakah  ketika akad nikah harus membaca syahadatain , apakah yang non Islam harus masuk Islam dulu. Kelima, para pasangan NBA juga tidak tahu kemana mereka nantinya dapat mencatatkan pernikahan mereka agar memperoleh buku nikah. Apakah ke KUA? Ataukah DKCS (dinas kependudukan dan catatan sipil)?, jika ke KUA, KUA mana?
Berangkat dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, maka makalah ini mencoba memberikan pendapat  tentang  “Perkawinan Beda Agama; Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Fiqh”, semoga bermanfaat bagi kita semua.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana agama-agama bicara tentang nikah beda agama?
2. Bagaimana pandangan nikah beda agama menurut hukum positif?
3. Bagaimana pandangan nikah beda agama menurut hukum fiqh?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan Beda Agama
Pernikahan atau perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki- laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih saying, kebajikan dan saling menyantuni.(Sudarsono, 2005: 36-37). Di dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci sebagai negara yang di dasarkan pada pancasila, dimana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian. Sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani. (Sudarsono, 2005: 9). Jadi yang dimaksud dengan pernikahan beda agama disini ialah perkawinan antar agama yang berlainan agama atau perkawinan orang Islam dengan orang bukan Islam (Zuhdi, 1994: 4).

B. Rukun Nikah Beda Agama
1. Mempelai laki-laki dan mempelelai perempuan
2. Wali Nikah
Dalam prosesi nikah beda agama tetap berlaku prinsip-prinsip dasar wali nikah sebagaimana diatur dalam fikih Islam. Bila calon mempelai laki seorang muslim dan perempuannya non muslim, tata tertib perwalian Islam tetap berlaku. Orang tua pihak perempuan merupakan prioritas utama untuk menikahkan anaknya. Bila berhalangan berlaku  urutan sebagaimana diatur dalam fikih, kecuali semua itu berhalangan dan kemudian diwakilkan kepada wali hakim. Adapun bila perempuannya muslimah, dengan sendirinya wali nikah orang tua sang muslimah. Ayah yang muslim ini secara otomatis menikahkan anak perempuannya kepada calon mantunya yang nonmuslim. Namun, mempelai laki-laki tidak boleh dipaksa membaca syahadatain kecuali atas kesepakatan dan kemauannya sendiri.



3. Maskawin
Pemberian mahar pada dasarnya bersifat budaya, relatif dan tidak sama dalam tradisi dan adat istiadat masing-masing suku dan masyaraakt. Ada mahar bentuk uang, alat ibadah, perhiasan emas dan perhiasan lainnya. Yang terpenting mahar merupakan kesepakatan  kedua belah pihak.
4. Kalimat ijab kabul
Ijab kabul nikah pasangan beda agama dalam prosesi akad nikah Islam sama kalimatnya dengan ijab kabul prosesi akad nikah Islam umumnya.
5. Saksi dalam Nikah Beda Agama
Nikah beda agama juga memerlukan saksi dalam prosesi akadnya. Jumlahnya yang resmi dua orang. Jika mengacu dalam fikih Islam keduanya harus laki-laki. Agamanya tidak harus Islam, bisa salah satunya nonmuslim atau kedua-duanya nonmuslim. Islam tak memandang perbedaan seorang untuk menjadi saksi. Yang terpenting satu saksi setidaknya berasal dari pihak keluarga perempuan dan satunya lagi dari pihak laki-laki. Tapi jika tidak bisa direalisasikan siapa saja bias menjadi saksi salal keduanya mengenal salah satu mempelai atau kedua mempelai. (Monib dan Nurcholish, 2008:158-166)

C. Bagaimana agama-agama bicara tentang nikah beda agama?
1. Pandangan Agama Islam
Pernikahan antar agama berpegang pada firman Allah, Qs. al-Baqarah: 221, Qs. Al-Mumtahanah, dan Qs. al-Maidah: 5). Dari ayat tersebut muncul kontroversi (khilafiyah) tentang halal dan haramnya pernikahan antar agama, persisnya antara muslim dengan non muslim. Mereka yang melarang pernikahan beda agama biasanya menyamakan istilah musyrik, kafir, dan ahl al-kitab. Padahal ketiganya memiliki makna dan pengertian yang berbeda. (Monib dan Nurcholish,2008:99)
Batasan Musyrik, Ulama Hanafiah menafsirkan musyrik adalah mereka yang menyembah bersama Allah sesuatu benda lain, serta tidak mengakui adanya Nabi dan tidak mempunyai kitab. Ulama lain menafsirkan syirik bila menyembah Tuhan selain Allah, baik berupa berhala, hewan, dan sebagainya. Batasan kedua dikatakan musyrik bila dia tidak menyembah Allah, dan menyembah benda-benda lain. (Shiddieqy, 1987:86)
Batasan Kafir, Golongan Syafi’iyad dan Hanafiyah menafsirkan kafir bilamana mereka mengingkari adanya Tuhan, mengingkari kerasulan Muhammad, dan mengingkari al-Qur’an. Maka menurut pandangan seluruh ulama, para penyembah berhala dan ahli kitab dipandang kafir. (Shiddieqy, 1987:86-87).
Ulama yang membolehkan NBA, antara lain:
a. Ali al-Shabuni dalam tafsirnya Rawa’i al-Bayan mengutip pendapat al-Alusi, seorang ahli tafsir, yang menulis demikian:
Hammad pernah bertanya kepada Ibrahim tentang pernikahan muslim dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Ibrahim menjawab, “La ba’sa (tidak apa-apa). Lalu,”Bukankah Allah menegaskan, ‘ Wa la tankihu al-musyikat’? (jangan menikahi orang-orang musyrik)” debat Hammad. “Itu kan perempuan-perempuan majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala),” jawab Ibrahim (Monib dan Nurcholish, 2008: 100).
b. Rasyid Ridha, ulama modern murid dari Muhammad Abduh ini menegaskan bahwa Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, dan agama lain dapat dikategorikan sebagai ahl al-Kitab. Ridha memfatwakan bahwa laki-laki muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah: 221 adalah perempuan musyrik arab masa lalu. (Monib dan Nurcholish, 2008:102). Karena bangsa Arab waktu turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci, mereka menyembah berhala. Itulah pendapat Jazir al-Thabari. (Zuhdi,1994:4). Sedangkan orang-orang majusi, penyembah berhala di India, Cina, dan semacam mereka seperti Jepang adalah l al-Kitab, yang (kitab mereka) mengandung faham monoteisme (tauhid) sampai sekarang. Karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka.
2. Pandangan Agama Kristen
Meski pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya menikah dengan orang yang seagama, pada level tetentu, agama protestan tidak menghalangi kalau terjadi pernikahan beda agama antara penganut Protestan dan penganut agama lain. Hal yang berkaitan dengan pernikahan beda agama dalam komunitas agama protestan:
a. Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil dimana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing
b. Kepada mereka diadakan penggembalaan (pendampingan khusus)
c. Ada yang memberkati, dengan syarat bukan Protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia untuk mengikuti pemberkatan agama secara Protestan (meski bukan berarti pindah agama). Ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau istri yang beriman
d. Ada pula gereja yang bukan hanya tidak mau memberkati, tetapi juga mengeluarkan anggota jemaatnya yang menikah dengan orang penganut agama lain dari gerejanya. (Monib dan Nurcholish, 2008:108-109)
3. Pandangan Agama Katolik
Gereja katolik memandang bahwa pernikahan antara seorang penganut Katolik dan seorang nonkatolik bukanlah bentuk pernikahan yang ideal, sebab pernikahan dianggap sebagai sebuah sakramen  (sesuatu yang suci). Agama katolik pada prinsipnya melarang pernikahan antara penganut Katolik dengan yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tetentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian. Dispensasi atau pengecualian  dari Uskup ini, menurut Johanes Hariyanto, baru diberikan apabila ada harapan dapat terbinanya suatu keluarga yag baik dan utuh setelah pernikahan. Yang paling penting dalam soal pernikahan dalam katolik adalah bahwa setiap pernikahan, termasuk pernikahan antara penganut katolik dan nonkatolik, hanya dianggap sah apabila dilakukan dihadapan uskup, pastor, atau imam (Monib dan Nurcholish, 2008: 111-112).
4. Pandangan Agama Hindu
Pengesahan suatu pernikahan menurut agama Hindu harus dilakukan oleh Pedande yang memenuhi syarat untuk itu. Kalau ada perkawinan beda agama, Pedande tidak akan mengesahkan perkawinan tersebut. Dalam Hindu tidak dikenal adanya nikah beda agama. Apabila salah seorang  calon mempelai  tidak beragama Hindu, ia wajib disucikan sebagai penganut agama Hindu. Kalau tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini dianggap melanggar ketentuan dalam Seloka v-89 kitab Manawadharmasastra .
Seiring dengan perkembangan zaman, Agama Hindu mulai mengalami dinamika baru dengan kehadiran Swami Vivekanada. Dengan demikian, perkawinan beda agama bukan suatu masalah setidaknya dalam pandangan kontekstual tentang Hindu. Kalau memang pasangan nikah beda agama itu sudah saling memahami dan meyakini bahwa perkawinan ini sudah merupakan dharma (way of life) yang harus mereka jalani didunia ini, pernikahan mereka akan diberi jalan sesuai dengan istadevata dan adikara mereka  (118-119)
5. Pandangan Agama Buddha
Menurut Sangha Agung Indonesia, perkawinan beda agama yang melibatkan penganut agama Budha dan penganut agama nonbudha diperbolehkan, asalkan pengesahannya dilakukan menutut tata cara agama Budha, meski calon mempelainya yang bukan Buddha tidak diharuskan masuk Buddha terlebih dahulu. Tapi, dalam upacara   ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan atas nama Sang Buddha, Dharma, dan Sangka.
Dalam pandangan Biksu Prajnavira Mahasthavira, yang paling diytamakan adalah  agar perkawinan tidak terlepas dari ajaran moral. Pemberkatan perlu dilakukan untuk kedua mempelai. Karena pemberkatan perlu dilakukan, agama kedua mempelai sebaiknya sama. Biksu Prajnavira melihat pernikahan beda agama sebgi sesuatu yang fleksibel, asal tidak melanggar dharma, dan tidak menyimpang dari norma dan moral.(119-120)

D. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Positif
Hukum positif adalah  kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis  dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan Negara Indonesia. (Hukum Positif Indonesia, Manan, 2004:1)
1. UU Perkawinan No.1/1974
Perkawinan di indonesia diatur melalui UU.No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dan untuk implementasinya dilengkapi Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya.
2. Posisi dan Sikap KUA dan DKCS
Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki dua lembaga pencatat perkawinan yaitu, KUA (bagi pasangan yang sama-sama Islam) dan DKCS (untuk pasangan perkawinan non muslim). Hal ini diatur melalui PP No.9 Tahun 1975. Dampaknya kemudian, pernikahan yang mempertemukan dua agama yang satu sama yang lain berbeda lembaga pencatatannya, seperti Islam dan kristen, tentu secara otomatis akan ditampik, karena mengganggu “dualisme” pencatatan. Persoalan di atas berakar dari penafsiran tentang UU Perkawinan 1974. Pihak DKCS menolak pernikahan beda agama, dengan argumen pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan. Ditambah dengan dalil dari PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. KHI yang dijadikan patokan oleh KUA yang secara tegas menyebut beda agama sebagai penghalang perkawinan.
Meskipun KUA dengan tegas menolak pencatatan perkawinan pasangan beda agama, tidak demikian dengan DKCS. Meski secara umum menolak, ada sejumlah DKCS yang berkenan mencatat pasangan nikah beda agama. DKCS yang mencatat dan menerima perkawinan beda agama melandasi argumennya dengan pasal 2 dan pasal 66 UU Perkawinan.
Seperti yang dialami oleh pasangan Adi abidin dan Lia Marpaung (tahun 2005), DKCS Salatiga, Jawa Tengah menerima pencatatan pernikahan mereka yang beda agama atas dasar pasal 2 UU Perkawinan, baik ayat 1 maupun ayat 2.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221 tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan berlakunya UUP serta Peraturan Pelaksanaannya. Keputusan Mendagri tersebut diantaranya menyatakan:
Sebelum dikeluarkan UU tentang Catatan Sipil yang bersifat Nasional, maka pencatatan perkawinan dan perceraian dilakukan di KCS menurut ketentuan UU No.9 tahun 1975 bagi mereka yang pencatatan perkawinan dilakukan berdasarkan, di antaranya Ordonansi Catatan Sipil untuk perkawinan campuran.
Dengan demikian, kalau pasal 66 dan keputusan Mendagri ini ingin dilaksanakan, NBA dapat dilaksanakan dengan cara:
a. Menggunakan GHR apabila perkawinan antara pria Kristen dengan wanita nonkristen. Pasal 6 GHR menetapkan bahwa perkawinan antara agama, maka hukum dari suami diterapkan.
b. Menggunakan HOCI apabila perkawinan antara pria nonkristen dengan wanita kristen. Dalam pasal 75 HOCI ditetapkan bahwa perkawinan antara seorang pria tidak beragama kristen dengan seorang wanita beragama kristen, atas permintaan mereka, dapat dikukuhkan berdasarkan ordonansi.
3. INPRES No.1/1999 tentang Kompilasi Hukum Islam
KHI disusun berdasarkan keputusan bersama Ketua MA dan Menteri Agama pada tanggal 21 maret 1985 dan selanjutnnya melahirkan proyek Pengembangan Hukum Islam melalui Yurisprudensi.
Berkaitan dengan nikah beda agama terdapat dua pasal KHI. Pertama, pasal 40 yang menyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan kedua, pasal 44 yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
4. Fatwa MUI 1980/2005
Nikah beda agama  dinyatakan haram untuk dilakukan umat Islam, tak terkecuali untuk laki-laki Islam dengan perempuan non muslim, apa pun agamanya.
5. CLD KHI: Gagasan Progresif tentang NBA
Sebagai alternatif terhadap pasal-pasal KHI lama yang bermasalah, diusulkan revisi dalam CLD-KHI yang dibuat oleh Tim Pengarusutamaan Gender, adalah:
a. Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan
b. Perkawinan orang Islam dengan non Islam dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak kebebasan menjalankan ajaran agama  dan keyakinan masing-masing
c. Sebelum perkawinan dilangsungkan, Pemerintah berkewajiban memberi penjelasan kepada kedua calon suamim istri mengenai perkawinan orang Islam dengan buklan Islam, sehingga masing-masing menyadari segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perkawinan tersebut
d. Dalam perkawinan orang Islam dan bukan Islam, anak berhak untuk memilih dan memeluk suatu agam asecara bebas
e. Dalam hal anak belum bisa menentukan pilihan agamanya, agama anak untuk semantara ditentukan oleh kesepakatan kedua orang tuanya
E. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Fiqh
1. Pernikahan seorang non Muslim menikahi perempuan Muslim
Pernikahan antara seorang laki-laki non muslim dengan perem[uan muslimah hukumnya haram. Apapun alasannya ia tidak diperbolehkan, sebagaimana firman Allah :
             
Artinya : “ dan janganlah kalian nikahkan laki- laki musyrik sebelum mereka beriman ” ( Al- Baqarah : 221)
Tujuan larangan ini adalah agar tidak terjadi penguasaan hak suami yang nonmuslim atas istrinya yang muslim dan ini juga untuk menjaga martabat wanita muslim dan ini juga untuk menjaga martabat perempuan muyslim. Hl yang paling dikhawatirkan adalah sikap wanita yang lemah, sehingga terpengaruh oleh perilaku lelaki yang menjadi suaminya.
2. Pernikahan seorang muslim menikahi perempuan Ahlul Khitab
Laki- laki muslim boleh menikah dengan wanita Yahudi atau Nasrani, sedang wanita muslim tidak diperbolehkan, tidak lain karena laki- laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam menjamin aqidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak- hak  dan kehormatanya dengan syariat dan bimbingan- bimbingannya.


Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seoang pria mslim boleh menikahi wanita ahlulkitab ( Yahudi dan Nasrani), berdasarkan firman Allah dalam Surat Al- Maidah ayat 5 :
          
Artinya: “Dan dihalalkan mengawini wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara orang- orang yang diberi kita suci sebelum kamu.”
Selain berdasarkan Al- Qur’an surat al- Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunnah Nabi, di mana Nabi pernah menikahi wanita ahlul kitab, Mariah al- Qibtiyah (k risten) . Demikian pula seorang sahabat Nabi, Hudzaifah bin Yaman pernah kawin dengan wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Adapun pendapat para fuqara empat madzhab mengenai laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Hanafi, Para ulama madzhab Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin menikahi perempuan ahli kitab yang mendomisili di wilayah yang sedang berperang dengan Islam. Karena mereka tidak tunduk terhadap hukum Islam sehingga bisa membuka pintu fitnah
b. Madzhab Maliki, tidak makruh secara mutlak sebab dzahir Qs.al-maidah:5 membolehkan secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena dikaitkan dengan pemerintahan Islam, sebab para Ahli Kitab tetap saja boleh minum khamr, makan babi,dll. Padahal suaminya tidak melakukan itu.  
c. Madzhab Syafi’I, memandang makruh mengawini perempuan ahli kitab yang mendomisili di negara islam.  Ulama syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa: Masih ada perempuan muslimah yang sholihah, apabila tidak mengawini perempuan ahli kitab tersebut ia bisa terperosok ke dalam perbuatan zina.
d. Madzhab Hambali, laki-laki muslim diperbolehkan dan bahkan sama sekali tidak dimakruhkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan Qs. Al-Maidah 5. Disyaratkan perempuan ahli kitab tersebut perempuan merdeka.

3. Perkawinan antara seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita muyrik, bedasarkan firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 221.
Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa wanityta musyrik yang haram dinikahi? menurut Ibnu Jarir AL- Thabary, seorang ahli tafsir,  bahwa wanita musyiok yang dinikahi itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al- Quran memang tidak mengenak kitab suci dam mereka menyambah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang muslim boleh menikah dengan wanita musyrik non Arab.
 BAB III
ANALISIS

Dari beberapa pandangan tentang pernikahan beda agama seseorang laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim. Hal ini dikuatkan oleh Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang menjelaskan bahwa  dihalalkan menikahi wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan wanita- wanita yang mejaga kehormatan diantara orang- orang yang diberi kita suci sebelumnya.
. Alasan lainnya, laki- laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam menjamin aqidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak- hak  dan kehormatanya dengan syariat dan bimbingan- bimbingannya. Sedangkan perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki non muslim dikarenakan mustahil jika seorang muslimah tetap memiliki kehormatan aqidah dan perlindungan agamanya jika laki- laki yang menguasainya adalah seorang yang menentang agamanya dengan segala bentuk penentangan. Hal ini dikuatkan dalam QS. Al-Baqarah:221 yang menjelaskan bahwa perempuan muslim janganlah menikah dengan laki- laki musyrik sebelum mereka beriman.

















BAB IV

KESIMPULAN

A. Pengertian pernikahan beda agama
Pernikahan beda agama disini ialah perkawinan antar agama yang berlainan agama atau perkawinan orang Islam dengan orang bukan Islam.
B. Pandangan pernikahan beda agama menurut hukum positif
1. UU Perkawinan No.1/1974
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecaaanya itu.
2. INPRES No.1/1999 tentang Kompilasi Hukum Islam
Berkaitan dengan nikah beda agama terdapat dua pasal KHI. Pertama, pasal 40 yang menyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan kedua, pasal 44 yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
C. Pandangan pernikahan beda agama menurut hukum fiqih
1. Pernikahan seorang non Muslim menikahi perempuan Muslim
Pernikahan antara seorang laki-laki non muslim dengan perempuan muslimah hukumnya haram. Apapun alasannya ia tidak diperbolehkan, sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah:221
2. Pernikahan seorang muslim menikahi perempuan Ahlul Khitab
Laki- laki muslim boleh menikah dengan wanita Yahudi atau Nasrani, sedang wanita muslim tidak diperbolehkan. Berdasarkan pada QS. Al-Maidah ayat 5
3. Perkawinan antara seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita muyrik, bedasarkan firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 221.


  DAFTAR PUSTAKA


Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Hukum Antar Golongan. Semarang: Pustaka Rizki Putra

Djubaidah, Neng.2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat. Jakarta: Sinar Grafika

Manan, Bagir. 2004. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press

Monib, Mohammad dan Nurcholish, Ahmad. 2008. Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Suhadi,2006.  Kawin Lintas Agama. Yogyakarta: LKis

Zuhdi, Masjfuk. 1994. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Toko Gunung Agung









Tidak ada komentar:

Posting Komentar